Apartemen Slipi Jakarta - Ady Varutha, seorang pilot dari maskapai
penerbangan nasional Indonesia mengajukan permohonan pailit ke
Pengadilan Niaga Jakarta. Permohonan ini ditujukan terhadap PT Advisia
Mitra Solusi yang dahulunya bernama PT Dutama Niaga Jayabad.
Untuk diketahui, termohon adalah pengembang yang telah membangun
apartemen di kawasan ruko Duta Niaga Bintaro, yang dikenal dengan
Apartemen DjakartaQuess. Apartemen ini dahulunya bernama Apartement
Bintaro City.
Permohonan pailit diajukan lantaran pengembang tidak menyelesaikan
pembangunan kamar yang telah dipesan sang pilot. Ady telah memesan dua
unit apartemen kepada termohon dengan tipe studio 1 bedroom dan tipe 1
bedroom.
Pemohon juga telah melakukan pelunasan pembayaran kepada termohon untuk
tipe studio 1 bedroom seluas 31 m2 secara bertahap. Pada 15 Februari
2010, Ady telah membayar down payment sejumlah Rp 51,3 juta dan 22
Februari 2010 senilai Rp 171,7 juta. Sedangkan untuk pemesanan unit 1209
dengan tipe 1 bedrom seluas 31 m2, pemohon juga telah membayar down
payment sebesar Rp 70 juta.
Pemesanan dan pembayaran apartemen ini dituangkan dalam Perjanjian
Pengikatan Jual Beli (PPJB) Apartemen Djakarta Quess tertanggal 19
September 2011. Nah, menurut Ady, si pengembang tidak memenuhi
kewajibannya.
Karena waktu yang seharusnya ditentukan, kedua unit apartemen itu tak
kunjung bisa ditempati Ady. Padahal, bedasarkan Surat Pengikatan
Perjanjian Jual Beli (SPPJB) Satuan Unit Apartement Pasal 5 ayat 5.1
menyatakan pihak pertama berjanji untuk menyelesaikan pembangunan
apartemen pada September 2011.
“Atas keterlambatan pembangunan dan penyelesaian bangunan, pemohon
berhak mendapatkan denda sebesar 3 persen per bulan atas jumlah uang
yang diterima termohon sejak September 2011,” tulis kuasa hukum
penggugat, Muhammad Azhar dalam berkas permohonannya.
Kewajiban ini menurut pemohon termasuk dalam definisi utang menurut
Pasal 1 angka 6 UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang. Begitu juga dengan Putusan Mahkamah Agung
Nomor 236K/Pdt.Sus/2010 tanggal 20 April 2010.
Utang adalah kewajiban yang diyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah
uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik
secara langsung maupun yang akan timbul dikemudian hari atau kontinjen,
yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan wajib dipenuhi oleh
debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk
mendapatkan pemenuhannya dari harta kekayaaan debitor.
Selain memenuhi utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih, termohon juga
mempunyai lebih dari dua kreditor. Yaitu Nancy Maharani dengan utang
sejumlah Rp 170 juta, Corry Pietersz sebesar Rp 99 juta. Ditambah Jerry
Yokie W senilai Rp 80 juta. Para kreditor juga pemesan apartemen yang
belum diselesaikan PT Advisia Mitra Solusi.
“Memohon kepada Majelis Hakim untuk mengabulkan permohonan pailit ini,”
demikian keinginan penggugat seperti dikutip dalam berkas gugatan,
seperti yang dikutip dari hukumonline.com, pada Kamis (7/2).
Sementara itu, kuasa hukum PT Advisia Mitra Solusi, Sugeng Purwanto
sangat keberatan dengan permohonan pailit tersebut. Permohonan tersebut
seharusnya tidak diajukan. Soalnya, dalam PPJB tahun 2011 tersebut
menyebutkan jika terjadi masalah akan diselesaikan di Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan.
Untuk itu, Sugeng menilai seharusnya pemohon menghormati perjanjian yang
telah dibuat kedua belah pihak. Soalnya, perjanjian yang telah dibuat
berlaku sebagai undang-undang.
Hal ini selaras dengan Pasal 1338 KUHPerdata yang dikenal dengan asas
pacta sun servanda. Lebih lagi, Sugeng menyatakan pemohon telah salah
pihak dalam mengajukan permohonan pailit ini.
Dalam berkas permohonannya, Ady mengajukan permohonan kepada PT
Advisindo Mitra Solusi yang dahulunya bernama PT Dutama Niaga Jayabad.
Padahal, kedua perusahaan tersebut adalah dua subjek hukum yang berbeda.
Sehingga, tanggung jawab hukumnya juga berbeda.
Ketika ditanyakan mengenai utang, Sugeng belum mau menjawabnya. Dirinya
hanya fokus kepada syarat formil dari pengajuan permohonan pailit.
Karena, cacat formil menyebabkan pokok perkara belum bisa dibahas.
“Formilitas dalam perkara perdata itu adalah pintu masuk untuk pokok
perkara. Jadi, formilnya harus benar dulu,” ucapnya ketika ditemui
wartawan usai penyerahan kesimpulan,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar